Kamis, 20 Oktober 2016

Pendidikan Pancasila




BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah
Sesuai dengan makna negara kebangsaan indonesia yang berdasarkan pancasila adalah kesatuan integral dalam kehidupan bangsa dan negara, maka memiliki sifat kebersamaan, kekeluargaan serta religiusitas. Dalam pengertian inilah maka negara pancasila pada hakikatnya adalah negara kebangsaan yang berketuhanan yang maha esa.
Rumusan ketuhanan yang maha esa sebagai mana terdapat dalam pembukaan UUD 1945, telah memberikan sifat yang khas kepada negara kebangsaan indonesia, yaitu bukan merupakan negara sekuler yang memisahkan antara agama dengan negara demikian juga bukan merupakan negara agama yaitu negara yang mendasarkan atas negara agama tertentu.
Negara tidak memaksa dan tidak memaksakan agama karena agama adalah merupakan suatu keyakinan batin yang tercermin dalam hati sanubari dan tidak dapat di paksakan. Kebebasan beragama dan kebebasan agama adalah merupakan hak asasi manusia yang paling mutlak, karena langsung bersumber pada martabat manusia yang berkedudukan sebagai mahluk pribadi dan mahluk ciptaan tuhan yang maha esa. Oleh karena itu agama bukan pemberian negara atau golongan tetapi hak beragama dan kebebasan beragama merupakan pilihan pribadi manusia dan tanggung jawab pribadinya.
B.     Rumusan Masalah
Dalam makalah ini kami akan memfokuskan pada beberapa masalah, diantaranya ialah:
·        Bagaimana hakikat Ketuhanan Yang Maha Esa ?
·        Bagaimana Hubungan Degan Agama ?
C.     Tujuan Penulisan Makalah
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
·        Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan Pancasila.
·        Untuk Mengetahui Hakikat Ketuhanan Yang Maha Esa.
·        Untuk Mengetahui Hubungan Negara dengan Agama.
D.    Metode Penulisan Makalah
Metode dari penulisan makalah ini yaitu metode studi pustaka yang mengambil sumber-sumber dari buku dan website sebagai referensi dalam pembuatan makalah ini.















BAB II
PEMBAHASAN

A.     Negara Pancasila adalah Negara Kebangsaan Yang Berketuhanan Yang Maha Esa.
Dasar ontologis negara kebangsaan Indonesia yang berdasarkan Pancasila adalah hakikat manusia ‘monopluralis’. Manusia secara filosofis memiliki unsur ‘susunan kodrat’ jasmani (raga) dan rokhani (jiwa), sifat kodrat sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, serta kedudukan kodrat sebagai mahkluk Tuhan yang Maha Esa serta sebagai makhaluk pribadi.
Individu yang hidup dalam suatu bangsa adalah sebagai makhluk Tuhan maka bangsa dan negara sebagai totalitas yang integral adalah Berketuhanan, demikian pula setiap warganya juga berketuhanan Yang maha Esa.
Rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 yaitu bukan merupakan negara sekuler yang memisahkan antara agama dengan negara demikian juga bukan merupakan negara agama yaitu negara yang mendasarkan atas agama tertentu.
Kebangsaan beragama dan kebebasan agama adalah merupakan hak asasi manusia yang paling mutlak, karena langsung bersumber pada martabat manusia yang berkedudukan kodrat sebagai pribadi dan sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang Maha Esa.
B.     Hakikat Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sila pertama Pancasila sebagai dasar filsafat negara adalah ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Oleh karena sebagai dasar negara maka sila tersebut merupakan sumber nilai, dan sumber norma dalam setiap aspek penyelenggaraan negara, baik yang bersifat material maupun spiritual. Arti material antrara lain, bentuk negara tujuan negara, tertib hukum, dan sistem negara. Adapun yang bersifat spiritual antara lain moral agama dan moral penyelenggaraan agama.
Pancasila adalah negara kebangsaan yang berketuhanan yang Maha Esa dalam arti memiliki kebebasan dalam memeluk agama sesuai dengan keimanan dan ketaqwaan masing-masing, Pasal 29 ayat 1 dan ayat 2.
1.         Peranan sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Untuk memahami peranan Sila Ketuhana YME  dalam sistem filsafat Pancasila, kiranya jalan yang terbaik adalah dengan cara mengikuti intrepratasi  dari para negarawan yang tercatat sebagai ‘golongan pendahulu’, “The Founding Farher”. Mereka termasuk orang-orang yang mengetahui ruh, jiwa dan semangatnya secara langsung karena keterlibat mereka dalam merumuskan Pancasila itu sendiri.
Berbagai interpretasi terhadap peran sila Ketuhanan YME dalam filsafat Pancasila tersebut antara lain adalah :
a)         Sila Ketuhanan YME berperan sebagai ‘Leitstar’ atau bintang pembimbing yang akan membimbing bengsa Indonesia dalam mengejar kebijakan dan kebaikan. Pendapat ini dinyatakan oleh bung Karno.
b)        Sila ketuhanan YME berperan sebagai ‘Dasar Moral Bangsa dan Negara RI’,  yang dinyatakan oleh Bung Hatta
c)         Sejalan dengan pernyataan Moh Hatta Natsir menyatakan bahwa Sila Ketuhanan YME berperan sebagai dasar rohani, moral dan susila bangsa dan negra. Pendapat ini dikemukakan di hadapan  pertemuan ‘Pakistan institute of international Affairs’ di Karachi pada tanggal 9 April 1952.
d)        Sila Ketuhana YME berperan sebagai ‘Dasar dari segala sila-sila’. Pernyataan ini  ditegaskan oleh Dyiyarkara yang mengatakan bahwa: “Sila Ketuhanan merupakan dasar segala sila”
Dari berbagai penilaian para negarawan angkatan ”pendahulu” sebagai mana diatas jelaslah bahwa peranan sila Ketuhanan YME dalam sistem filsafat Pancasila menempati posisi kunci, posisi yang paling dasar dari semua dasar. Dan karena posisinya yg seperti itu akhirnya melahirkan kepribadian atau warna yang khas bani negara RI. Disamping itu, dengan dicamtumkannya sila Ketuhanan YME dalam tata urutan yang pertama dalam sistem filsafat pancasila akhirnya melahirkan sebuah filsafat yang khas, yang dalam klasifikasi kefilsafatan kiranya dapat dikategorikan ke dalam aliran ‘Theistic philosophy’, suatu sistem filsafat hidup yang menempatkan keyakinan akan eksitensi Tuhan selaku satu-satunya sumber inspirasi, aspirasi dan sumber motivasi dalam seluruh aspek kehidupan manusia.
Dengan mengikuti beberapa penjelasan dari para ‘Pendiri negara’ sebagaimana di atas jelaslah bahwa dicantumkannya sila Ketuhanan YME ke dalam  sistem filasafat pancasila bukan merupakan sebuah rumusan yang menggambarkan hasil telaah fakir yang terpuncak ataupun merupakan warisan dari budaya luhur manusia Indonesia. Rumusan  sila pertama sama sekali bukan merupakan sebuah formulasi dari hasil kontemplasi manusia Indonesia. Ia bukan sebuah rumusan yang menggambarkan tangkapan ide abstrak yang terpuncak, yang menjadi ttik akhir dari proses berfikir secara kosmologis kausalistik, yang dalam dunia filsafat disebut dengan istilah “Causa prima atw ‘First Caus’ sebab pertama”.  Sila pertama dirumuskan untuk menggambarkan relitas hidu bangsa Indonesia yang benar-benar yakin dan beriman kepada Allah, sebagaimana yang telah diwartakan oleh agama. Menurut Syafii Maarif menegaskan bahwa : atribut ‘YME’ Sesudah “Ketuhanan” dalam sila pertama jelas sekali menunjukkan bahwa konsep Ketuhanan dalam pancasila bukanlah suatu fenomena sosiologis, melainkan refleksi dari ajaran tauhid.
Bahwa didalam dunia filsafat terdapat beberapa masalah yang dapat dikategorikan dengan sebutab ‘kepercayaan’ atau ‘belief’ dimana mereka mengakui bahwa akal fikiran, betapapun kritisnya tidak lagi berkompeten untuk menjawab, khususnya terhadap hal-hal  yang berada dalam kawasan dunia ‘noumenal’ (inti yang tidak dapat dilihat), sebagai lawan dari dunia ‘fenomin’ atau sesuatu yang dapat dilihat. Adapun hal-hal yang terdapat di dalam kawasan dunia noumenal oleh Immanuel Kant disebutnya sebagai postulat atau dalil  yang tidak dapat dibantah lagi. Kant menyatakan bahwa “ Persoalan 2 metafisika yang terdalam seperti adanya Tuhan, kekekalan nyawa & kebebasan  kemauan tak dapat diselesaikan dengan intelek. Lapangan yang mutlak,  yang dapat dikatakan terletak dibelakang ’dunia peristiwa atau fenomin’,  tak dapat kita capai dengan akal ”.
Kant mengemukakan empat bukti adanya Tuhan, yaitu pembuktian secara Kosmologis, suatu bukti yg bertitik tolak dari aspek dunia (cosmos=dunia), Ontologis, yaitu suatu penbuktian dari titik tolak yang ada (0ntos= Ada), Teleologis, yaitu pembuktian yang bertitik tolak dari aturan alam semesta, dan tujuan dari aturan itu (telos= tujuan ), dan bukti pengamalan moral.
a)         Pembuktian Kosmologis, yaitu sustu bukti yang sering dikemukakan berhubungan dengan ide tentang sebab (causality). Plato dalam bukunya ‘Timaeus’, menyatakan bahwa tiap-tiap benda yang terjadi pasti ada yang menjadikannya.
b)        Pembuktian Ontologis, yaitu pembuktian terhadap adanya Tuhan berdasarkaan refleksi atas kenyataan obyektif dengan berpedoman pada konsep mengenai Ada Yang Sempurna (perfect Being ). Anselmus menyatakan bahwa Tuhan adalah Ada Yang Sempurna atau kategori apriori yang  dapat dipikirkan sebagai ada yang universal, yang  melebihi dari particular.
c)         Pembuktian Teleologis, pembuktian tentang adanya Tuhan dengan berpedoman pada konsep mengenai desain (keterpolaan ) di dalam alam semesta, yang tidak boleh tidak pasti membutuhkan ‘desainer. Alam semesta merupkan karya seni terbesar yang menunjukkan adanya “ a greater intelligent Desaigner”, yaitu Tuhan.
d)        Pembuktian moral, yaitu pembuktian tentang adanya Tuhan dengan berpegang pada pengandaian adanya hokum moral umum yang menunjukkan adanya ‘Penjamin Moral’ (Law-Giver).
Dalam hubunganya dengan sifat-sifat Tuhan sebagaimana telah disinggung di atas ternyata ada beberapa konsepsi yang patut untuk disimak dan diperhatikan, natar lai seperti faham Pantheisme, Deisme, serta Theisme. Munculnya faham Pantheisme, Deisme & Theisme bermula dari pemikiran yang kritis spekulatif terhadap asal-usul dan kejadian alam semesta. Dari pertanyaan yang sangat mendasa, yang mempersoalakan bagaimanakah asal-usul alam semesta (universum ) ini terjadi, Pantheisme berpendapat bahwa alam semesgta ini muncul dan ada semata-mata karena limphan (alfaidl) atau emanasi-Nya sementara Deisme dan Theisme berpendapat bahwa alam semesta beserta segala isiya terjadi karena diciptakan atas kehendak tuhan. Dan Tuhan dalam konsepsi Ketuhanan menurut pancasila bila menilik dari ketiga pendapat diatas Ketuhanan yang dimaksud bukanlah konsepsi sebaimana halnya yang dipahami oleh aliran pentheisme dan Deisme, tetapi sesuai dengan konsepsi ketuhana  Theism, dimana  Tuhan digambarkan sebagai dzat yang pribadi  yang bersifat rohani, yang transenden terhadap alam semesta, tetapi immanen trehadap alam itu(Huijbers:26).  Tuhan yang digambarkan dalam  falsafah Pancasila ialah Tuhan yang aktif dalam dalam kehuidupan sehar-hari, Tuhan yang manusia dapat menyembahNya, Tuhan yang senantiasa mencurahkan dan memberikan berbagai  macam kenikmatan kepada hamba-Nya, memberikan barakah serta rahmat-Nya kepada umat manusia.
Jadi kalau menurut saya bahwa Sila pertama ini adalah memang merupakan sila paling fundamental dari sila-sila yang ada karena dari sila-sila ini masyarakat Indonesia menjadi masyarakay yang merupakan  masyarakat yang akan menjadi Negara kuat dan menjadi Negara jalan ketiga. Dan dengan mengikuti pendapat diatas jelaslah  bangsa Indonesia dalam kehidupannya benar-benar menyakini  dan menyadari akan kekuasaan serta kedaulatan Allah yang bersifat mutlak tak terbagi.
C.     Hubungan Negara Dengan Agama.
Negara pada hakikatnya adalah merupakan suatu persekutuan hidup bersama sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Berdasarkan kodrat manusia tersebut maka terdapat berbagai macam konsep tentang hubungan negara dengan agama, dan hal ini sangat ditentukan oleh dasar ontologis manusia masing-masing.
1.       Hubungan Negara dengan Agama Menurut Pancasila
Menurut Pancasila negara adalah berdasar atas ketuhanan Yang maha Esa atas dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal ini termuat dalam Penjelasan Pembukaan UUD 1945 yaitu Pokok Pikiran keempat. Pancasila adalah bukan negara sekuler yang memisahkan negara dengan agama, karena hal ini tercantum dalam pasal 29 ayat 1, bahwa negara adalah berdasar ketuhanan Yang Maha Esa.
Masing-masing negara kebangsaan yang Berketuhanan yang Maha Esa adalah negara yang merupakan penjelmaan dari hakikat kodrat manusia sebagai individu makhluk sosial dan manusia adalah sebagai pribadi dan makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Bilamana dirinci maka hubungan negara dengan agama menurut negara Pancasila adalah sebagai berikut :
1.    Negara adalah berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
2.    Bangsa Indonesia adalah sebagai bangsa Indonesia yang berketuhanan Yang Maha Esa. Konsekuensinya setiap warga memiliki hak asasi untuk memeluk dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama masing-masing
3.    Tidak ada tempat bagi atheisme dan sekulerisme karena hakikatnya manusia berkedudukan kodrat sebagai mahkluk Tuhan
4.    Tidak ada tempat bagi pertentangan agama, golongan agama, antar dan inter pemeluk agama serta antar pemeluk agama
5.    Tidak ada tempat bagi pemaksaan agama karena ketaqwaan itu bukan hasil paksaan bagi siapapun juga
6.    Oleh karena itu harus memberikan toleransi terhadap orang lain dalam menjalankan agama dalam negara
7.    Segala aspek dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara harus sesuai dengan nilai–nilai Ketuhanan Yang Maha Esa terutama norma-norma hukum positif maupun norma moral baik moral agama negara maupun moral para penyelenggara negara
8.    Negara pada hakikatnya adalah merupakan “.........berkat rakhamat Allah yang maha Esa. (bandingkan dengan Notonagoro, 1975)

2.      Hubungan Negara dengan Agama Menurut Paham Theokrasi.
Hubungan negara dengan agama menurut paham theokrasi bahwa antara negara dengan agama tidak dapat dipisahkan. Dalam praktek kenegaraan terdapat dua macam pengertian negara theokrasi , yaitu Negara Theokrasi Langsung, dan Negara Theokrasi tidak Langsung.
a)      Negara Theokrasi Langsung
Dalam system Negara Theokrasi langsung, kekuasaan adalah langsung merupakan otoritas Tuhan. Adanya Negara di dunia ini adalah atas kehendak Tuhan, dan yang memerintah adalah Tuhan.
b)      Negara Theokrasi tidak Langsung
Berbeda dengan system Theokrasi yang langsung, Negara Theokrasi tidak Langsung bukan Tuhan sendiri yang memerintah dalam Negara, melainkan Kepala Negara atau Raja, yang memiliki otoritas atas nama Tuhan. Kepala Negara atau raja memerintah Negara atas kehendak Tuhan, sehingga kekuasaan dalam negara merupakan suatu karunia dari Tuhan.
3.      Hubungan Negara dengan Agama Menurut Sekulerisme.
Paham sekulerisme membedakan dan memisahkan antara agama dan negara. Sekulerisme berpandangan bahwa negara adalah masalah-masalah keduniawian hubunagan manusia dengan manusia, adapun agama adalah urusan akherat yang menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan.
Negara adalah urusan hubungan horizontal antar manusia dalam mencapai tujuannya. Agama adalah menjadi unsur umat masing-masing agama. Walaupun dalam negara sekuler membedakan antara agama dan negara, namun lazimnya negara diberikan kebebasan dalam memeluk agama masing-masing.

BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
Bangsa dan negara Indonesia adalah terdiri atas berbagai macam unsur yang membentuknya yaitu suku bangsa, kepulauan, kebudayaan, golongan serta agama yang secara keseluruhan merupakan suatu kesatuan
Manusia dalam merealisasikan dan meningkatkan harkat dan martabat tidaklah mungkin untuk dipenuhinya sendiri, oleh karena itu manusia sebagai makhluk social senantiasa membutuhkan orang lain dalam hidupnya. Dalam pengertian inilah manusia membentuk suatu persekutuan hidup yang disebut negara. Nilai-nilai tersebut adalah berupa nilai-nilai adat-istiadat kebudayaan, serta nilai religius yang kemudian dikristalisasikan menjadi suatu sistem nilai yang disebut Pancasila. Pancasila, yaitu suatu negara Persatuan, suatu negara Kebangsaan serta suatu negara yang bersifat Integralistik.








DAFTAR PUSTAKA

-          Achmad muchi, Drs., H.MM., dan rekan, 2007. Seri diktat kuliah pendidikan pancasila.hal 42-47. Jakarta: Universitas Gunadarma
-          Amandemen Undang-Undang Dasar 1945.Tanggerang: Interaksara
-          http://berbagireferensi.blogspot.co.id/2009/12/perbandingan-ideologi-pancasila-dengan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar