BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Sesuai dengan makna negara kebangsaan indonesia yang berdasarkan
pancasila adalah kesatuan integral dalam kehidupan bangsa dan negara, maka
memiliki sifat kebersamaan, kekeluargaan serta religiusitas. Dalam pengertian
inilah maka negara pancasila pada hakikatnya adalah negara kebangsaan yang
berketuhanan yang maha esa.
Rumusan ketuhanan yang maha esa sebagai mana terdapat dalam pembukaan UUD
1945, telah memberikan sifat yang khas kepada negara kebangsaan indonesia,
yaitu bukan merupakan negara sekuler yang memisahkan antara agama dengan negara
demikian juga bukan merupakan negara agama yaitu negara yang mendasarkan atas
negara agama tertentu.
Negara tidak memaksa dan tidak memaksakan agama karena agama adalah merupakan
suatu keyakinan batin yang tercermin dalam hati sanubari dan tidak dapat di
paksakan. Kebebasan beragama dan kebebasan agama adalah merupakan hak asasi
manusia yang paling mutlak, karena langsung bersumber pada martabat manusia
yang berkedudukan sebagai mahluk pribadi dan mahluk ciptaan tuhan yang maha
esa. Oleh karena itu agama bukan pemberian negara atau golongan tetapi hak
beragama dan kebebasan beragama merupakan pilihan pribadi manusia dan tanggung
jawab pribadinya.
B.
Rumusan
Masalah
Dalam makalah ini kami akan memfokuskan
pada beberapa masalah, diantaranya ialah:
·
Bagaimana hakikat Ketuhanan Yang Maha
Esa ?
·
Bagaimana Hubungan Degan Agama ?
C.
Tujuan
Penulisan Makalah
Tujuan dari penulisan makalah ini
adalah:
·
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pendidikan
Pancasila.
·
Untuk Mengetahui Hakikat Ketuhanan Yang
Maha Esa.
·
Untuk Mengetahui Hubungan Negara dengan
Agama.
D.
Metode
Penulisan Makalah
Metode dari penulisan makalah ini
yaitu metode studi pustaka yang mengambil sumber-sumber dari buku dan website sebagai
referensi dalam pembuatan makalah ini.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Negara Pancasila adalah Negara Kebangsaan Yang
Berketuhanan Yang Maha Esa.
Dasar ontologis negara kebangsaan
Indonesia yang berdasarkan Pancasila adalah hakikat manusia ‘monopluralis’.
Manusia secara filosofis memiliki unsur ‘susunan kodrat’ jasmani (raga) dan
rokhani (jiwa), sifat kodrat sebagai makhluk individu dan makhluk sosial, serta
kedudukan kodrat sebagai mahkluk Tuhan yang Maha Esa serta sebagai makhaluk
pribadi.
Individu yang hidup dalam suatu bangsa adalah sebagai makhluk Tuhan maka bangsa dan negara sebagai totalitas yang integral adalah Berketuhanan, demikian pula setiap warganya juga berketuhanan Yang maha Esa.
Individu yang hidup dalam suatu bangsa adalah sebagai makhluk Tuhan maka bangsa dan negara sebagai totalitas yang integral adalah Berketuhanan, demikian pula setiap warganya juga berketuhanan Yang maha Esa.
Rumusan Ketuhanan Yang Maha Esa
sebagaimana yang terdapat dalam pembukaan UUD 1945 yaitu bukan merupakan negara
sekuler yang memisahkan antara agama dengan negara demikian juga bukan
merupakan negara agama yaitu negara yang mendasarkan atas agama tertentu.
Kebangsaan beragama dan kebebasan agama adalah merupakan hak asasi manusia yang paling mutlak, karena langsung bersumber pada martabat manusia yang berkedudukan kodrat sebagai pribadi dan sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang Maha Esa.
Kebangsaan beragama dan kebebasan agama adalah merupakan hak asasi manusia yang paling mutlak, karena langsung bersumber pada martabat manusia yang berkedudukan kodrat sebagai pribadi dan sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang Maha Esa.
B. Hakikat
Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sila pertama Pancasila sebagai dasar filsafat
negara adalah ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’. Oleh karena sebagai dasar negara maka
sila tersebut merupakan sumber nilai, dan sumber norma dalam setiap aspek
penyelenggaraan negara, baik yang bersifat material maupun spiritual. Arti
material antrara lain, bentuk negara tujuan negara, tertib hukum, dan sistem
negara. Adapun yang bersifat spiritual antara lain moral agama dan moral
penyelenggaraan agama.
Pancasila adalah negara kebangsaan yang
berketuhanan yang Maha Esa dalam arti memiliki kebebasan dalam memeluk agama
sesuai dengan keimanan dan ketaqwaan masing-masing, Pasal 29 ayat 1 dan ayat 2.
1.
Peranan
sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Untuk
memahami peranan Sila Ketuhana YME dalam sistem filsafat Pancasila,
kiranya jalan yang terbaik adalah dengan cara mengikuti intrepratasi dari
para negarawan yang tercatat sebagai ‘golongan pendahulu’, “The Founding
Farher”. Mereka termasuk orang-orang yang mengetahui ruh, jiwa dan semangatnya
secara langsung karena keterlibat mereka dalam merumuskan Pancasila itu sendiri.
Berbagai
interpretasi terhadap peran sila Ketuhanan YME dalam filsafat Pancasila
tersebut antara lain adalah :
a)
Sila
Ketuhanan YME berperan sebagai ‘Leitstar’ atau bintang pembimbing yang
akan membimbing bengsa Indonesia dalam mengejar kebijakan dan kebaikan.
Pendapat ini dinyatakan oleh bung Karno.
b)
Sila
ketuhanan YME berperan sebagai ‘Dasar Moral Bangsa dan Negara RI’, yang
dinyatakan oleh Bung Hatta
c)
Sejalan
dengan pernyataan Moh Hatta Natsir menyatakan bahwa Sila Ketuhanan YME berperan
sebagai dasar rohani, moral dan susila bangsa dan negra. Pendapat ini
dikemukakan di hadapan pertemuan ‘Pakistan institute of international
Affairs’ di Karachi pada tanggal 9 April 1952.
d)
Sila
Ketuhana YME berperan sebagai ‘Dasar dari segala sila-sila’. Pernyataan ini
ditegaskan oleh Dyiyarkara yang mengatakan bahwa: “Sila Ketuhanan merupakan
dasar segala sila”
Dari
berbagai penilaian para negarawan angkatan ”pendahulu” sebagai mana diatas
jelaslah bahwa peranan sila Ketuhanan YME dalam sistem filsafat Pancasila menempati
posisi kunci, posisi yang paling dasar dari semua dasar. Dan karena posisinya
yg seperti itu akhirnya melahirkan kepribadian atau warna yang khas bani negara
RI. Disamping itu, dengan dicamtumkannya sila Ketuhanan YME dalam tata urutan
yang pertama dalam sistem filsafat pancasila akhirnya melahirkan sebuah
filsafat yang khas, yang dalam klasifikasi kefilsafatan kiranya dapat
dikategorikan ke dalam aliran ‘Theistic philosophy’, suatu sistem
filsafat hidup yang menempatkan keyakinan akan eksitensi Tuhan selaku
satu-satunya sumber inspirasi, aspirasi dan sumber motivasi dalam seluruh aspek
kehidupan manusia.
Dengan
mengikuti beberapa penjelasan dari para ‘Pendiri negara’ sebagaimana di atas
jelaslah bahwa dicantumkannya sila Ketuhanan YME ke dalam sistem filasafat
pancasila bukan merupakan sebuah rumusan yang menggambarkan hasil telaah fakir
yang terpuncak ataupun merupakan warisan dari budaya luhur manusia Indonesia.
Rumusan sila pertama sama sekali bukan merupakan sebuah formulasi dari
hasil kontemplasi manusia Indonesia. Ia bukan sebuah rumusan yang menggambarkan
tangkapan ide abstrak yang terpuncak, yang menjadi ttik akhir dari proses
berfikir secara kosmologis kausalistik, yang dalam dunia filsafat disebut
dengan istilah “Causa prima atw ‘First Caus’ sebab pertama”. Sila
pertama dirumuskan untuk menggambarkan relitas hidu bangsa Indonesia yang
benar-benar yakin dan beriman kepada Allah, sebagaimana yang telah diwartakan
oleh agama. Menurut Syafii Maarif menegaskan bahwa : atribut ‘YME’ Sesudah “Ketuhanan”
dalam sila pertama jelas sekali menunjukkan bahwa konsep Ketuhanan dalam
pancasila bukanlah suatu fenomena sosiologis, melainkan refleksi dari ajaran
tauhid.
Bahwa
didalam dunia filsafat terdapat beberapa masalah yang dapat dikategorikan
dengan sebutab ‘kepercayaan’ atau ‘belief’ dimana mereka mengakui bahwa
akal fikiran, betapapun kritisnya tidak lagi berkompeten untuk menjawab,
khususnya terhadap hal-hal yang berada dalam kawasan dunia ‘noumenal’
(inti yang tidak dapat dilihat), sebagai lawan dari dunia ‘fenomin’ atau
sesuatu yang dapat dilihat. Adapun hal-hal yang terdapat di dalam kawasan dunia
noumenal oleh Immanuel Kant disebutnya sebagai postulat atau dalil
yang tidak dapat dibantah lagi. Kant menyatakan bahwa “ Persoalan 2 metafisika
yang terdalam seperti adanya Tuhan, kekekalan nyawa & kebebasan
kemauan tak dapat diselesaikan dengan intelek. Lapangan yang mutlak, yang
dapat dikatakan terletak dibelakang ’dunia peristiwa atau fenomin’, tak
dapat kita capai dengan akal ”.
Kant
mengemukakan empat bukti adanya Tuhan, yaitu pembuktian secara Kosmologis,
suatu bukti yg bertitik tolak dari aspek dunia (cosmos=dunia), Ontologis, yaitu
suatu penbuktian dari titik tolak yang ada (0ntos= Ada), Teleologis,
yaitu pembuktian yang bertitik tolak dari aturan alam semesta, dan tujuan dari
aturan itu (telos= tujuan ), dan bukti pengamalan moral.
a)
Pembuktian Kosmologis, yaitu sustu bukti yang sering
dikemukakan berhubungan dengan ide tentang sebab (causality). Plato dalam
bukunya ‘Timaeus’, menyatakan
bahwa tiap-tiap benda yang terjadi pasti ada yang menjadikannya.
b)
Pembuktian Ontologis, yaitu pembuktian terhadap adanya
Tuhan berdasarkaan refleksi atas kenyataan obyektif dengan berpedoman pada
konsep mengenai Ada Yang Sempurna (perfect
Being ). Anselmus menyatakan bahwa Tuhan adalah Ada Yang Sempurna atau
kategori apriori yang dapat dipikirkan sebagai ada yang universal,
yang melebihi dari particular.
c)
Pembuktian Teleologis, pembuktian tentang adanya Tuhan
dengan berpedoman pada konsep mengenai desain (keterpolaan ) di dalam alam
semesta, yang tidak boleh tidak pasti membutuhkan ‘desainer. Alam semesta
merupkan karya seni terbesar yang menunjukkan adanya “ a greater intelligent
Desaigner”, yaitu Tuhan.
d)
Pembuktian moral, yaitu pembuktian tentang adanya Tuhan dengan berpegang pada
pengandaian adanya hokum moral umum yang menunjukkan adanya ‘Penjamin Moral’
(Law-Giver).
Dalam
hubunganya dengan sifat-sifat Tuhan sebagaimana telah disinggung di atas
ternyata ada beberapa konsepsi yang patut untuk disimak dan diperhatikan, natar
lai seperti faham Pantheisme, Deisme, serta Theisme. Munculnya faham
Pantheisme, Deisme & Theisme bermula dari pemikiran yang kritis spekulatif
terhadap asal-usul dan kejadian alam semesta. Dari pertanyaan yang sangat
mendasa, yang mempersoalakan bagaimanakah asal-usul alam semesta (universum )
ini terjadi, Pantheisme berpendapat bahwa alam semesgta ini muncul dan ada
semata-mata karena limphan (alfaidl) atau emanasi-Nya sementara Deisme dan
Theisme berpendapat bahwa alam semesta beserta segala isiya terjadi karena
diciptakan atas kehendak tuhan. Dan Tuhan dalam konsepsi Ketuhanan menurut
pancasila bila menilik dari ketiga pendapat diatas Ketuhanan yang dimaksud
bukanlah konsepsi sebaimana halnya yang dipahami oleh aliran pentheisme dan Deisme,
tetapi sesuai dengan konsepsi ketuhana Theism, dimana Tuhan
digambarkan sebagai dzat yang pribadi yang bersifat rohani, yang
transenden terhadap alam semesta, tetapi immanen trehadap alam
itu(Huijbers:26). Tuhan yang digambarkan dalam falsafah Pancasila
ialah Tuhan yang aktif dalam dalam kehuidupan sehar-hari, Tuhan yang manusia
dapat menyembahNya, Tuhan yang senantiasa mencurahkan dan memberikan
berbagai macam kenikmatan kepada hamba-Nya, memberikan barakah serta
rahmat-Nya kepada umat manusia.
Jadi
kalau menurut saya bahwa Sila pertama ini adalah memang merupakan sila paling
fundamental dari sila-sila yang ada karena dari sila-sila ini masyarakat
Indonesia menjadi masyarakay yang merupakan masyarakat yang akan menjadi
Negara kuat dan menjadi Negara jalan ketiga. Dan dengan mengikuti pendapat
diatas jelaslah bangsa Indonesia dalam kehidupannya benar-benar
menyakini dan menyadari akan kekuasaan serta kedaulatan Allah yang
bersifat mutlak tak terbagi.
C. Hubungan
Negara Dengan Agama.
Negara pada hakikatnya adalah merupakan
suatu persekutuan hidup bersama sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia sebagai
makhluk individu dan makhluk sosial.
Berdasarkan
kodrat manusia tersebut maka terdapat berbagai macam konsep tentang hubungan
negara dengan agama, dan hal ini sangat ditentukan oleh dasar ontologis manusia
masing-masing.
1.
Hubungan Negara dengan Agama Menurut Pancasila
Menurut Pancasila negara adalah berdasar
atas ketuhanan Yang maha Esa atas dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal
ini termuat dalam Penjelasan Pembukaan UUD 1945 yaitu Pokok Pikiran keempat.
Pancasila adalah bukan negara sekuler yang memisahkan negara dengan agama,
karena hal ini tercantum dalam pasal 29 ayat 1, bahwa negara adalah berdasar
ketuhanan Yang Maha Esa.
Masing-masing negara kebangsaan yang
Berketuhanan yang Maha Esa adalah negara yang merupakan penjelmaan dari hakikat
kodrat manusia sebagai individu makhluk sosial dan manusia adalah sebagai
pribadi dan makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Bilamana dirinci maka hubungan negara
dengan agama menurut negara Pancasila adalah sebagai berikut :
1.
Negara adalah berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa.
2.
Bangsa Indonesia adalah sebagai bangsa
Indonesia yang berketuhanan Yang Maha Esa. Konsekuensinya setiap warga memiliki
hak asasi untuk memeluk dan menjalankan ibadah sesuai dengan agama
masing-masing
3.
Tidak ada tempat bagi atheisme dan
sekulerisme karena hakikatnya manusia berkedudukan kodrat sebagai mahkluk Tuhan
4.
Tidak ada tempat bagi pertentangan
agama, golongan agama, antar dan inter pemeluk agama serta antar pemeluk agama
5.
Tidak ada tempat bagi pemaksaan agama
karena ketaqwaan itu bukan hasil paksaan bagi siapapun juga
6.
Oleh karena itu harus memberikan
toleransi terhadap orang lain dalam menjalankan agama dalam negara
7.
Segala
aspek dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara harus sesuai dengan
nilai–nilai Ketuhanan Yang Maha Esa terutama norma-norma hukum positif maupun
norma moral baik moral agama negara maupun moral para penyelenggara negara
8.
Negara pada hakikatnya adalah merupakan
“.........berkat rakhamat Allah yang maha Esa. (bandingkan dengan Notonagoro,
1975)
2.
Hubungan
Negara dengan Agama Menurut Paham Theokrasi.
Hubungan
negara dengan agama menurut paham theokrasi bahwa antara negara dengan agama
tidak dapat dipisahkan. Dalam praktek kenegaraan terdapat dua macam pengertian
negara theokrasi , yaitu Negara Theokrasi Langsung, dan Negara Theokrasi tidak
Langsung.
a)
Negara Theokrasi Langsung
Dalam system Negara
Theokrasi langsung, kekuasaan adalah langsung merupakan otoritas Tuhan. Adanya
Negara di dunia ini adalah atas kehendak Tuhan, dan yang memerintah adalah
Tuhan.
b)
Negara Theokrasi tidak Langsung
Berbeda dengan system
Theokrasi yang langsung, Negara Theokrasi tidak Langsung bukan Tuhan sendiri
yang memerintah dalam Negara, melainkan Kepala Negara atau Raja, yang memiliki
otoritas atas nama Tuhan. Kepala Negara atau raja memerintah Negara atas
kehendak Tuhan, sehingga kekuasaan dalam negara merupakan suatu karunia dari
Tuhan.
3.
Hubungan
Negara dengan Agama Menurut Sekulerisme.
Paham
sekulerisme membedakan dan memisahkan antara agama dan negara. Sekulerisme
berpandangan bahwa negara adalah masalah-masalah keduniawian hubunagan manusia
dengan manusia, adapun agama adalah urusan akherat yang menyangkut hubungan
manusia dengan Tuhan.
Negara adalah
urusan hubungan horizontal antar manusia dalam mencapai tujuannya. Agama adalah
menjadi unsur umat masing-masing agama. Walaupun dalam negara sekuler
membedakan antara agama dan negara, namun lazimnya negara diberikan kebebasan
dalam memeluk agama masing-masing.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Bangsa
dan negara Indonesia adalah terdiri atas berbagai macam unsur yang membentuknya
yaitu suku bangsa, kepulauan, kebudayaan, golongan serta agama yang secara
keseluruhan merupakan suatu kesatuan
Manusia
dalam merealisasikan dan meningkatkan harkat dan martabat tidaklah mungkin
untuk dipenuhinya sendiri, oleh karena itu manusia sebagai makhluk social
senantiasa membutuhkan orang lain dalam hidupnya. Dalam pengertian inilah
manusia membentuk suatu persekutuan hidup yang disebut negara. Nilai-nilai tersebut adalah berupa
nilai-nilai adat-istiadat kebudayaan, serta nilai religius yang kemudian
dikristalisasikan menjadi suatu sistem nilai yang disebut Pancasila. Pancasila, yaitu suatu negara
Persatuan, suatu negara Kebangsaan serta suatu negara yang bersifat
Integralistik.
DAFTAR PUSTAKA
-
Achmad muchi, Drs., H.MM., dan rekan, 2007. Seri
diktat kuliah pendidikan pancasila.hal 42-47. Jakarta: Universitas
Gunadarma
-
Amandemen Undang-Undang Dasar 1945.Tanggerang: Interaksara
-
http://berbagireferensi.blogspot.co.id/2009/12/perbandingan-ideologi-pancasila-dengan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar